Sabtu, 27 April 2013

Budaya Nias

Budaya Nias


Suku Nias

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Mereka menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono=anak/keturunan; Niha=Manusia), dan pulau Nias dinamakan mereka sebagai "Tano Niha" (Tano=tanah).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias disebut fondrako yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Mayarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik, ini dibuktikan dengan adanya peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.


Kasta: Suku Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan). Dimana tingkatan yang tertinggi adalah" Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ternak selama berhari-hari.




Mitologi

Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.


Karakteristik Budaya Nias




Nias Warrios
Penghargaan dan pengakuan
Di setiap budaya masyarakat tertentu, memiliki cara dan gaya tersendiri yang pada umumnya berbeda dengan budaya lain dalam memberi penghargaan kepada seseorang. Penghargaan yang diberikan tidak lepas dari status sosial yang dimiliki oleh yang bersangkutan. Misalnya, di budaya Nias, dikenal cara pemberian penghargaan dan pengakuan terhadap seseorang ketika dia melakukan “owasa” artinya (pesta besar, yang dilakukan hingga berhari-hari dengan memotong babi beratus-ratus ekor). Orang yang melakukan hal ini akan disebut “Balugu” atau “Tuhenõri” artinya pemimpin suku/pemimpin adat (orang yang ditakuti dan dihormati). Sehingga ketika orang memberi penghargaan dan pengakuan kepadanya, maka yang diberikan adalah seekor kepala babi yang dimasak dengan air putih dan garam. Hanya kepada orang-orang yang memiliki status sosial tinggi di masyarakat yang diperlakukan seperti demikian.

  Sistem keluarga




 Pernikahan Adat Nias

Budaya Nias mengenal garis keturunan laki-laki (patrilineal), sehingga posisi laki-laki di dalam masyarakat lebih tinggi dibanding perempuan. Tidak heran ketika perempuan dinikahkan dengan seorang lelaki maka hak perempuan otomatis diambil/dikendalikan oleh laki-laki yang menjadi suaminya. Sistem pernikahan di Nias juga terbagi-bagi. Di Nias Selatan,  perrkawinan semarga diperbolehkan, tetapi perkawainandengan sepupu dari ibu tidak diperbolehkan. Berlainan dengan adat di Nias Tengah, perkawinan dengan sepupu dari ibu diperbolehkan dan perkawinan satu marga juga diperbolehkan. Hanya saja ada marga tertentu yang tidak bisa. Budaya Nias juga mengenal mahar/jujuran, yang hingga sekarang ini menjadi dilema bagi perempuan Nias. Mahar/jujuran yang menjadi harga jual bagi perempuan Nias menjadi suatu ukuran sosial yang “konyol”. Mereka mengatakan bahwa semakin tinggi mahar/jujuran untuk seorang perempuan maka perempuan tersebut semakin tinggi kedudukan sosialnya dan sebaliknya.

Tradisi




Hombo Batu
Tradisi di Nias dahulu mengenal suatu keperkasaan seorang laki-laki erat kaitannya dengan “Hombo Batu” artinya lompat batu. Batu yang tersusun rapi tanpa rekatan semen tetapi proses alamiah berdiri setinggi 2 meter menjadi ukuran bagi laki-laki Nias untuk layak atau tidak melaksanakan perkawinan. Jadi, seorang laki-laki yang bisa melewati dengan baik tanpa menyentuh batu maka dianggap sudah dewasa dan layak untuk melaksanakan perkawinan. Tetapi yang tidak maka harus membunuh manusia dengan memotong dua kepala manusia dan mempersembahkannya kepada Balugu.
Selain itu, tradisi ini juga menjadi sarana untuk melatih pemuda dan prajurit dalam persiapan perang antar suku. Pada masa dulu, perang antar suku sering terjadi karena memperbutkan wilayah kekuasaan. Biasanya, sebelum melakukan perang mereka melakukan ritual lain yaitu melakukan tarian perang.


Fatele/Foluaya(Tari Perang) 


Tari Fataele tidak bisa dipisahkan dengan tradisi Lompat Batu Nias, karena lahirnya berbarengan dengan tradisi Homo Batu. Dahulu kala Suku Nias sering berperang antarkampung. Biasanya pemicu perang adalah perebutan lahan atau bahkan merebut kampung orang lain.

MaenaDalam upacara pernikahan adat, pertunjukan tari Maena diselenggarakan ketika mempelai lelaki tiba di rumah mempelai wanita. Tarian ini ditarikan oleh keluarga dari pihak mempelai lelaki untuk memuji kecantikan mempelai wanita dan kebaikan keluarga pihak wanita. Setelah mempelai lelaki, keluarga dari mempelai wanita pun menyambut kedatangan keluarga pihak lelaki dengan menyelenggarakan tari Maena.

Tari Moyo

Tari Mogaele


Sapaan Ya'ahowu


Fame Ono nihalõ (Pernikahan)


Omo Hada(Rumah Adat)

 Fame'e Tõi Nono Nihalõ (Pemberian nama bagi perempuan yang sudah menikah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar